
Desa Kemiren: Kecantikan Budaya dan Wisata yang Menarik Perhatian Dunia
Desa Kemiren, yang terletak di Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, kini menjadi destinasi wisata yang menarik perhatian baik wisatawan lokal maupun mancanegara. Salah satu acara utama yang rutin digelar adalah Festival Ngopi Sepuluh Ewu, yang mengangkat potensi budaya Suku Osing serta kekayaan wisata desa ini.
Selain festival tersebut, dua acara lain yang juga rutin diselenggarakan adalah Festival Barong Ider Bumi dan Tumpeng Sewu. Ketiga acara ini menjadi bagian dari kalender Banyuwangi Festival (B-Fest), yang sukses dalam memoles citra Banyuwangi sebagai Kota Wisata di Indonesia.
Plt Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi menyebutkan bahwa prestasi Desa Kemiren di tingkat internasional berasal dari kearifan dan budaya lokal yang dirawat dengan sungguh-sungguh. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga tradisi dan nilai-nilai budaya dalam pengembangan pariwisata.
Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang Membawa Kehidupan Bersama
Aroma kopi menyeruak ketika melangkah di jalan utama Desa Kemiren pada hari Sabtu (8/11/2025) petang. Di sepanjang jalan, ratusan orang duduk santai di kursi kayu bergaya lawas sembari menikmati suguhan kopi tubruk. Perayaan Festival Ngopi Sepuluh Ewu digelar oleh masyarakat suku Osing, yang merupakan suku asli Banyuwangi yang banyak tinggal di Desa Kemiren.
Ngopi sepuluh ewu dalam bahasa Indonesia berarti minum kopi sepuluh ribu. Seperti namanya, sebanyak kurang lebih 10 ribu cangkir kopi disajikan secara cuma-cuma untuk siapapun yang datang ke festival yang rutin digelar setiap tahun itu. Kopi gratis, suasana syahdu, dan keramahtamahan warga menjadi tiga hal yang cukup untuk menarik ribuan orang dari berbagai penjuru daerah datang ke Festival Ngopi Sepuluh Ewu. Termasuk wisatawan asal Mancanegara.
"Saya suka di sini karena semua orang baik. Semua orang tersenyum. Kopinya juga enak," kata Adela, wisatawan asal Ceko. Adela datang bersama pasangannya, Adrek, mereka berlibur selama dua hari di Banyuwangi untuk menikmati kekayaan alam dan budaya kabupaten ujung Timur Pulau Jawa itu.
Desa Kemiren Bukan Penghasil Kopi
Meskipun Festival Ngopi Sepuluh Ewu menampilkan kopi dalam jumlah besar, Desa Kemiren bukanlah penghasil kopi. Kopi sebanyak satu kuintal yang disajikan dalam festival itu merupakan blend jenis arabika dan robusta yang didapat dari perkebunan wilayah lain di Banyuwangi dan Bondowoso.
Namun, masyarakat suku Osing punya kedekatan dengan kopi dari sisi budaya. Wajib bagi mereka menyuguhkan kopi kepada tamu yang datang ke rumah. Mereka juga punya kebiasaan unik lain. Dalam setiap pernikahan, orang tua akan menghadiahi pengantin dengan beberapa perabot rumah. Satu yang tak pernah ketinggalan adalah selusin cangkir keramik kecil. Bisa cangkir baru atau cangkir lawas yang diwariskan secara turun temurun.
Cangkir-cangkir ini juga yang dikeluarkan dari tiap rumah untuk disajikan kepada wisatawan dalam festival Ngopi Sepuluh Ewu.
Tiga Event Besar di Desa Kemiren
Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang rutin digelar setiap tahun bukanlah satu-satunya pagelaran besar di desa tersebut. Kemiren setidaknya menyumbang tiga event dalam kalender Banyuwangi Festival (B-Fest), sebuah rangkaian event wisata yang sukses memoles citra Banyuwangi sebagai Kota Wisata di Indonesia.
Selain Ngopi Sepuluh Ewu, dua festival lain adalah Festival Barong Ider Bumi dan Tumpeng Sewu. Barong Ider Bumi merupakan ritual yang digelar sebagai penyucian dan perlindungan. Upacara tradisional ini sudah digelar puluhan atau bahkan ratusan tahun setiap hari kedua bulan Syawal dalam kalender Islam. Sementara Tumpeng Sewu berakar dari tradisi selamatan desa atas hasil panen yang melimpah. Warga suku Osing menggelarnya sebagai bentuk rasa syukur sekaligus untuk memperkuat solidaritas sosial antarwarga.
Pemuda-pemuda Suku Osing Menggerakkan Desa Wisata
Edy menjelaskan, memoles desa adat menjadi desa wisata tidak semudah membalik telapak tangan. Beberapa kali upaya dilakukan, tapi tak selalu membuahkan hasil maksimal. Desa wisata pertama kali digagas sekitar tahun 2013. Berbagai kegiatan budaya digelar untuk mendatangkan minat wisatawan. Sempat berjalan beberapa tahun, tapi kurangnya konsistensi membuat desa adat sempat mati suri.
Baru sekitar 2017, pemuda-pemuda suku Osing yang tergabung dalam kelompok karang taruna mencoba mengulangnya kembali. Sekitar 20 remaja membentuk Pokdarwis. Mereka menyiapkan titik-titik destinasi budaya sebagai paket wisata dengan konsep yang lebih matang. Para pemuda yang melek teknologi membuat promosi Desa Wisata Adat Kemiren menjadi lebih bergairah.
Keberhasilan Desa Wisata Kemiren
Sejak saat itu, wisatawan di Banyuwangi terus meningkat dari tahun ke tahun, yakni 5,3 juta pada 2018 dan 5,4 juta pada 2019. Sempat menurun karena pandemi Covid-19, Banyuwangi terus mencoba bangkit untuk mengulang kesuksesan sebelumnya. Di beberapa daerah, pariwisata mengubah budaya dari sebuah desa. Tapi tidak di Kemiren. Di sana, kearifan lokal justru semakin dirawat sebab ia menjadi daya tarik.
Tari Gandrung Mendunia
Kebudayaan lain masyarakat suku Osing tak boleh dilupakan adalah Tari Gandrung. Ini merupakan sebuah tarian yang pertama kali ditampilkan zaman kependudukan Belanda atau sekitar abad ke-18. Tarian tersebut kini dikenal luas melalui pentas tari kolosal Festival Gandrung Sewu yang digelar oleh Pemkab Banyuwangi. Festival yang rutin digelar di pantai Selat Bali ini menjadi salah satu event unggulan nasional dan masuk dalam kalender wisata Kharisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata.
Kekayaan budaya yang dibungkus dalam atraksi wisata berhasil mengantarkan Desa Kemiren sebagai salah satu desa wisata terbaik di dunia 2025. Kemiren masuk dalam jaringan desa wisata terbaik dunia kategori Upgrade Programme dari UN Tourism, badan kepariwisataan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kategori itu merupakan tingkat kedua tertinggi dalam penilaian desa wisata oleh UN Tourism. Dari 72 desa wisata terbaik di dunia tahun ini, hanya ada dua desa wisata di Indonesia yang masuk di dalamnya.
Ratusan Keluarga Bergantung pada Sektor Wisata
Sejak Kemiren menjelma menjadi desa wisata, lebih dari 200 keluarga hidupnya bergantung pada sektor tersebut. Mereka antara lain adalah para pemandu wisata, pekerja seni, pemilik akomodasi penginapan, pelaku usaha mikro kecil menengah, pengelola rumah adata kawasan cagar budaya, hingga pemilik persewaan tempat tinggi atau homestay. Jumlah pelaku jasa wisata di Desa Kemiren juga terus tumbuh seiring waktu berjalan. Tercatat saat ini, sebanyak 22 usaha kecil-menengah berdiri di desa tersebut. Mereka bergerak di usaha makan-minuman hingga sandang.
Jumlah homestay berkali-kali lipat lebih banyak. Pihak desa mencatat, lebih dari 40 homestay berdiri di kawasan Desa Wisata Kemiren. Mayoritas adalah rumah tinggal milik pribadi yang disewakan saat ada tamu berkunjung. Beberapa sedikit di antaranya adalah hunian berupa kamar-kamar yang sengaja dibangun untuk tempat menginap tamu.
Ribuan Orang Datang ke Desa Wisata Kemiren
Setiap tahunnya, ribuan orang datang ke Desa Wisata Kemiren untuk mengenal kebudayaan setempat. Data yang dihimpun Pokdarwis setempat, rata-rata 2 ribu hingga 4 ribu kunjungan tercatat dalam buku tamu dalam setiap tahunnya. Sebelum pandemi Covid-19, kunjungan di Desa Wisata Kemiren sempat menyentuh angka 18 ribu kunjungan. Itu terjadi pada 2019. Namun setelah pandemi, kunjungan sebanyak itu masih belum terulang kembali. Kami berupaya menyuguhkan kebudayaan dalam pariwisata sebaik mungkin untuk mengulang kembali capaian waktu itu.
Budaya dan Wisata Berjalan Beriringan
Bagi masyarakat suku Osing, kebudayaan yang membaur dengan pariwisata justru memberi nilai lebih. Keduanya saling melengkapi. Adat istiadat tetap lestari dan dijunjung tinggi. Di satu sisi, asap dapur rumah warga juga terus mengepul dampak dari pariwisata yang bergeliat.
Bahasa Osing yang Menarik
Suhaimi menjelaskan, suku Osing sebenarnya memiliki lebih banyak kebudayaan menarik di luar yang disuguhkan dalam pariwisata. Contohnya, masyarakat suku Osing memiliki bahasa Osing, sebuah dialek jawa khas yang hingga kini masih menjadi bahasa ibu, bahkan oleh kalangan muda-mudi. Bahasa Osing bisa didengar dalam lirik lagu-lagu bergenre kendang kempul Banyuwangi yang salah satunya dinyanyikan oleh penyanyi legendaris Sumiati. Lagu dengan lirik serupa juga banyak dinyanyikan oleh penyanyi dangdut generasi terkini seperti Suliayana atau Wandra Resturian.
Kampung Berseri Astra
Desa Kemiren termasuk satu dari 235 Kampung Berseri Astra, sebuah program berbasis komunitas yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang bersih, sehat, cerdas, dan produktif. Kepala Desa Kemiren Mohammad Arifin mengatakan, desa yang ia pimpin mendapat dukungan dari Astra sejak 2024. Dukungan tersebut meliputi empat pilar, yakni pendidikan, kewirausahaan, lingkungan, dan kesehatan.
Keberlanjutan Budaya dan Wisata
Plt Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi Taufik Rohman mengatakan, prestasi Desa Kemiren di tingkat internasional berasal dari kearifan dan budaya lokal yang dirawat dengan sungguh-sungguh. Tugas terpenting saat ini, kata dia, adalah memastikan Kemiren tetap konsisten dalam menguri-uri budaya dan membangkitkan pariwisata. Penghargaan internasional ini tidak boleh membuat berpuas diri. Harus terus ada inovasi-inovasi dalam bentuk apapun yang membuat Kemiren akan tetap dikenal sebagai desa wisata terbaik dunia.