Perjalanan Elvi Sukaesih, Ratu Dangdut yang Impi Jadi Pramugari

Erlita Irmania
0


Nama Elvi Sukaesih siapa yang tidak kenal? Dialah penyanyi dangdut wanita yang sudah sekian tahun tetap bertahan di deretan atas. Gelarnya Ratu Dangdut, sepertinya belum tergoyahkan hingga kini. Meski banyak penyanyi baru bermunculan. "Semua ini rahmat Allah," katanya. Berikut, perjalanan karier Elvi seperti yang dituturkannya pada NOVA edisi September 1988.


Mengenang kembali perjalanan karier hingga menjadi kenamaan seperti sekarang ini, kadang membuat Elvi Sukaesih tertawa geli sendiri. Terkadang juga membuat air matanya menitik tanpa bisa dia bendung. Karena tiap kali harus mengisahkan semua ini, mau tak mau dia akan kembali teringat kepada almarhum ayahnya yang biasa dia panggil Abah. Nama aslinya Mohammad AH. Elvi adalah anak tunggal dari perkawinan sang ayah dengan istri pertamanya. Dari istri kedua, Elvi dapat sembilan saudara lagi.

Abah adalah orang yang paling Elvi kagumi dan sayangi, begitu dia mengakui. Karena dia pulalah, karier Elvi sebagai penyanyi dangdut begitu luas terbentang. Padahal pekerjaan sebagai penyanyi, tak pernah terlintas dalam benak Elvi kecil. Sejak kecil, cita-citanya adalah menjadi pramugari. Memang, sejak kecil pula, telinga Elvi sudah akrab dengan musik. Abahnya adalah seorang pemain musik orkes gambus. Jika ayahnya latihan musik di rumah, dia lalu menari dan menyanyi di teras rumah. Ketika itu, mereka tinggal di daerah Guntur, Jakarta. Elvi mengakui, dari kecil dia memang genit.

Kelompok musik Abah memang sering mendapat undangan di pesta-pesta perkawinan. Suatu hari di tahun 1959, ketika usia Elvi 8 tahun, dia bilang kepada sang ayah, "Abah, kalau diajak, Else mau deh ikut nyanyi." Di keluarganya, Elvi biasa dipanggil Else. Rupanya kali ini Sang Abah mau meluluskan permintaannya. Sebelum-sebelumnya, meski sudah merajuk pun, Abah tak akan meluluskan keinginan Elvi ikut bernyanyi bersama orkesnya.

Dan diajaklah Elvi "manggung" di pesta perkawinan di Desa Menteng, Sukabumi, Jawa Barat. Tiba gilirannya tarik suara, terpaksalah sebuah bangku ditaruh di muka mikrofon. Dan dia pun berdiri di atas bangku itu! Maklum, tubuhnya yang kecil, membuat mulut Elvi tak bisa menjangkau mikrofon. “Geli sekali aku kalau mengingat pengalaman pertamaku ini. Aku sempat sedikit gugup waktu itu. Tapi begitu musik pengiring mengalun, lenyaplah semua perasaan was-was itu,” ceritanya.

Ternyata penampilan Elvi tak mengecewakan. Tepukan panjang dan meriah bergema begitu lagu yang dia bawakan usai. Amat merdu kedengaranya di telinganya sendiri. Elvi sempat melirik wajah Abahnya. Ah, dia tersenyum bangga. Apalagi ketika penonton memintanya menyanyikan lagu-lagu lainnya. Itulah yang membuat Elvi begitu bahagia.

Meski begitu, Evli agak sedih juga ketika mendengar komentar orang yang tak mempercayai usianya yang saat itu baru 8 tahun dan duduk di kelas 2 SD. Katanya, "Ini anak, kontet kali, ya?" Tapi dia tak peduli. Yang penting, dia tak menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan Abah kepadanya. Buktiannya, sejak pengalaman pertama itu, ayahnya sering mengajak Elvi menyanyi untuk orkesnya. Saat itu tak terpikirkan olehnya, akan menjadi penyanyi tetap. Dia hanya senang bernyanyi dan bergaya.

Tapi satu hari Abah memanggilnya dan berkata, "Else, kau tahu kan Abah sudah mulai tua dan sakit-sakitan?" Elvi yang tak mengerti tujuan pembicaraan Sang Abah, hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Nah, jika kau bisa menyanyi, berarti kau pun dapat mencari nafkah untuk keluarga kalau Abah tak ada umur." Dibayar 15 rupiah.

Elvi menangis mendengar perkataan Abah. Tak mampu membayangkan, bagaimana hidupnya tanpa ayah yang begitu dia cintai itu. Tapi rupanya Tuhan berkehendak lain. Tiga tahun setelah percakapan itu, Abah meninggal dunia. Elvi benar-benar terpukul. Di satu pihak, Elvi sadar, ini sudah takdir Illahi. Tapi di pihak lain, dia seperti tak bisa menerima, Sang Abah tak akan pernah kembali lagi, mengajaknya bernyanyi, melatih suaranya dan kebiasaan-kebiasaan lain yang dulu mereka lakukan bersama.

Namun Elvi tak ingin terus larut dalam kesedihan. Tiap malam, teringat lagi pesan Sang Abah. Bahwa dia bisa menyanyi dan mencari nafkah untuk keluarga. Itulah amanat yang harus dia jalankan. Dan tetap dia pegang sepanjang kariernya. Elvi membulatkan tekad: “Aku harus jadi penyanyi yang baik. Demi Abah tercinta,” begitu janjinya.

Begitulah, Elvi terus berlatih dan berlatih. Pelan-pelan kerja kerasnya menunjukkan hasil. Nama Elvi mulai dikenal orang. Tawaran mengisi acara di pesta-pesta perkawinan dan pesta 17 Agustusan, terus mengalir. Memang ada risikonya. Sekolahnya jadi terlantar. Tapi dia tak menyesal. Toh Elvi bisa membantu keluarga. Ibunya selalu mengawal tiap kali ada undangan menyanyi. Elvi masih ingat honornya ketika itu sekitar Rp15. Cukup untuk membeli 6 liter beras. Semua uang itu dia serahkan pada ibu. Juga uang yang dia dapat dari penonton sebagai tanda puas mereka setelah lagu yang mereka minta, dia bawakan.

Upah dari Sang Ibu? Semangkuk soto mie. Cuma itu, memang. Tapi hatinya rasanya bahagia sekali. Kalau Elvi dikenal orang saat itu, mungkin karena gaya menyanyinya yang lain dari penyanyi yang ada. Menyanyi sambil bergoyang, itulah yang sering dia lakukan. Suaranya pun, kata orang-orang, punya ciri khas tersendiri. Yaitu cegokan-nya. “Sementara penyanyi lain umumnya bersuara datar tanpa alunan dan mirip ‘patung’ karena tidak bergoyang. Kecuali Ellya Khadam, penyanyi yang saat itu juga tengah naik daun,” kenangnya.

Menikah

Tawaran menyanyi terus berdatangan. Dan di tahun 1961, dalam sebuah pesta perkawinan, rupanya ada seorang penyanyi lain. Namun berjenis kelamin pria. Rupanya di samping menyanyi, pria itu pun pemain musik Orkes Melayu Chandralela. Dia tampil menyenandungkan lagu India sambil memainkan mandolin. Suaranya enak sekali. Elvi melihat wajahnya, “Aduh handsome sekali,” kata Evli. Kulit tubuhnya, lanjutnya, begitu putih, rambutnya hitam, bibirnya merah, mukanya ramah. “Masya Allah, aku langsung bersimpati padanya. Rupanya inilah yang dikatakan jatuh cinta pada pandangan pertama.”

Akhirnya Elvi tahu, pemuda itu bernama Zaidun Zeth. Elvi memanggilnya Bang Zeth. Mereka pun berkenalan. Bang Zeth berkata, "Hati saya sebetulnya iba melihat kamu. Kecil-kecil sudah harus mencari nafkah dengan menyanyi." Elvi diam saja. Tapi dari orang-orang dia mendapat keterangan, pemuda itu sudah banyak pengalaman di bidang tarik suara. Rupanya diam-diam Bang Zeth melihat bakat Elvi dan meramalkan bahwa wanita yang sedang dekat dengannya itu akan menjadi penyanyi besar serta terkenal jika mendapat bimbingan. Bang Zet lalu menghubungi pimpinan orkesnya, minta agar Elvi ditarik menjadi penyanyi tetap orkes itu.

Ternyata sang pimpinan setuju. Mulailah Elvi menjadi penyanyi tetap. Sekolahnya pun dengan berat hati dia tinggalkan. Terakhir, Elvi duduk di kelas 1 SMP. Hubungan Elvi dengan Bang Zeth pun semakin terjalin. Mesra, tentu saja. Dalam hati, dia sering bergumam, "Tak salah aku jatuh cinta padanya. Pria ini begitu tulus membimbing diriku. Tapi apakah dia..." Ah, Elvi pun lalu tersadar. Namun rupanya cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Mereka akhirnya merasa saling cocok. Dan ketika dia melamar Elvi untuk dijadikan istrinya, tak terkatakan rasa bahagia di hati Elvi ketika itu. Tahun 1965, keduanya mengikat janji di muka penghulu. Ketika itu Elvi berusia 14 dan Bang Zeth 23 tahun.

Setelah resmi menjadi suami-istri, Bang Zeth mengurangi kegiatannya sebagai penyanyi. Sebaliknya, dia makin tekun membimbing Elvi agar bisa tampil dengan lebih baik lagi. Dan karena itu, Evli pun berusaha keras untuk menjadi penyanyi yang baik. Namun dia pun harus pandai-pandai mengatur jadwal latihan serta permintaan menyanyi yang ditawarkan. Maklum, kini statusnya adalah istri. Bagaimanapun juga, sebagai istri, Elvi merasa harus mengerjakan hal-hal yang menyangkut masalah rumah tangga. Mengurus suami dan memasak, misalnya. Namun dia begitu bersyukur bersuamikan Bang Zeth.

“Mungkin karena kami sama-sama orang panggung, dia tidak cemburu atau marah jika aku dikerumuni para penggemarku. Tapi aku toh tetap menahan diri dan menyadari batas-batas kepercayaan yang diberikan Bang Zeth kepadaku. Apa pun yang terjadi, aku wajib menghormatinya sebagai suamiku. Juga ayah dari anak-anak kami,” kata Elvi.

Tak terasa waktu berlalu. Anak-anak mulai lahir. Mula-mula Chaidar, lalu Fitria (yang kemudian mengikuti jejak Elvi sebagai penyanyi), kemudian Ali Zaenal Abidin. Setelah itu, masih ada tiga lagi. Mereka adalah Syechan, Wirda Silvina dan si bungsu Dhawiya. “Keenam anakku adalah buah hatiku, bukti cinta kasih aku dan Bang Zeth,” tambahnya.

Di bidang tarik suara, karier Elvi terus menanjak. Perlahan tapi pasti. Dunia rekaman yang sudah mulai dia kenal sejak tahun 1963, rupanya makin akrab dengan sang penyanyi. Elvi masih ingat, rekaman di kaset pertama, dia menyanyikan dua buah lagu: “Rahasia Sukma” ciptaan Sumantri dan “Curahan Hati” ciptaan Nurat Haris. Kaset-kaset rekaman berikutnya, laris bak pisang goreng di pasaran. Dan puncaknya terjadi di tahun 1968. Lagu “Karena Pengalaman” yang dia bawakan, menjadi top hits. Kasetnya terjual 1,8 juta buah!

Saat itu memang waktunya tepat, lagunya bagus. Tapi yang pasti, bagi Elvi, Allah memang saat itu mau memberikan rezeki buatnya dan keluarganya. Kaset-kaset berikutnya pun tak kalah laris. Seperti “Cubit-cubitan” dan “Mana Tahan”. Ratu Dangdut! begitulah Elvi akhirnya digelari. Dan terbayanglah kembali wajah almarhum Sang Abah. “Ah, kalau saja Abah masih hidup dan melihat keberhasilanku... Menangis aku melamunkan semua itu. Akhirnya aku cuma bisa berdoa, Abah mendapat tempat yang nikmat di sisi-Nya,” tutup Elvi.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default