
Sudarso, seorang pelukis, pernah diminta oleh Bung Karno untuk melukiskan adegan Ken Arok yang terpesona melihat kain Ken Dedes tersingkap ketika turun dari tandu.

Sudarso mengingat betul masa kecilnya. Dia sering meniru gambar-gambar dari buku bacaan zaman itu, seperti Matahari Terbit. Gambar yang paling dia banggakan adalah gambar kerbau mengamuk. Setelah pulang sekolah, dia asyik menggambar wayang, meniru kakeknya, Diporejo, seorang mantri hutan. Sejak berumur tujuh tahun, putra Carik Permadi ini diasuh oleh kakeknya.
Pada masa itu, Sudarso belum kenal cat air atau cat minyak. Untuk melukis, dia menggunakan bahan alami dari tumbuhan. Kunyit digunakan untuk warna kuning, daun koro untuk warna hijau, dan tinta untuk warna hitam. Sedangkan untuk warna biru keunguan, dia menggunakan buah kecil-kecil yang tumbuh di pagar. Buah tersebut berwarna hitam kecil, dan jika dipencet akan mengeluarkan warna biru keunguan.

Sudarso pernah ditantang oleh kakeknya. "Kalau kau bikin Arjuna bagus, saya akan potong ayam." Karena ingin makan daging ayam, dia membuat lukisan Arjuna sebaik-baiknya. Kakeknya memenuhi janjinya.
Sebagai pengantar susu, Sudarso sering melewati rumah kecil yang sederhana itu. Pemilik rumah sering asyik melukis. Dari kecil, Sudarso senang menggambar. Di sekolahnya dulu, SD Arjuna di Ajibarang, gurunya meramalkan dia akan menjadi "Raden Saleh". Dalam pelajaran menggambar, dia diangkat menjadi "guru" dan ditugaskan memberi contoh kepada teman-temannya.
Suatu hari, ketika lewat di depan rumah si pelukis, dia dipanggil. Pelukis itu bernama Affandi, ingin membeli susu. Setiap kali Affandi membeli susu, Sudarso tidak segera pergi. Dia betah mengamati Affandi melukis.
"Kenapa nggak pulang-pulang? Senang melihat orang melukis, ya?" tanya Affandi.
"Ya, Pak, saya senang," jawab pemuda itu, yang namanya Sudarso.
Setelah pulang dari rumah Affandi, Sudarso langsung melukis persis seperti apa yang dilakukan Affandi. Kalau Affandi membuat lukisan potret, Sudarso juga melukis potret. Alami benda pun dia ikuti. Setelah terkumpul beberapa lukisan, Affandi diundang ke rumahnya. Ketika itu Kartika, putri Affandi, masih kecil. Maklum awal tahun 30-an. Affandi kagum melihat lukisan Sudarso yang sudah banyak itu. "Ah, nggambar terus!" katanya.
Sejak itu, Sudarso sering diberi cat-cat bekas Affandi. Sisa-sisa cat itu dibuka bungkusnya, lalu dikumpulkan untuk melukis. Jika membeli cat sendiri, dia tidak sanggup karena mahal. Selain Affandi, Sudarso berteman dengan Hendra Gunawan, Barli, dan Wahdi. Mereka membentuk "kelompok lima", ditambah seorang anak dokter Belanda, Koos. "Sinyo itu orangnya baik, saya sering diajak ke rumahnya yang kebetulan tidak jauh dari rumah yang saya sewa."
Bila ada acara tahunan, jaarbeurs, semacam pasar malam yang diadakan setahun sekali, Sudarso dan Affandi sering memborong menghiasi stand. Affandi mencari pesanan, sedangkan Sudarso mengerjakan. Mereka membuat letter serta memperbaiki yang rusak-rusak.
Sekali waktu, Sudarso pernah mendapat tawaran untuk mengapur rumah. Pengalaman belum punya, tawaran itu diterimanya juga. Sudarso membeli sekaleng kapur. Dia tidak tahu bagaimana caranya mencairkan kapur tembok. Kaleng berisi kapur dibuka, lalu disiram air. Ternyata buuus... kapur itu nggembos tidak karuan. Seluruh rumah menjadi putih.
Pernah pula dia bekerja di Phoenix, semacam biro iklan, sebagai tukang gambar. Dia harus melukis iklan di atas papan-papan besar, dekat Kantor Pos Bandung. Jenis pekerjaan ini ternyata susahnya setengah mati. "Kadang-kadang saya cuma naik-turun saja seharian. Bisa-bisa kondor (turun berok) saya," kenang Sudarso. Untung Affandi melihatnya, lalu turun tangan dan menyelesaikan lukisan itu.
Wanita Jawa enak dilukis
Menurut Sudarso, model lukisan Affandi bergaya ekspresionis. Kalau Sudarso menamakan lukisannya sendiri sebagai "realisme yang disederhanakan". Dia memberi contoh, seorang realis kalau membuat baju lipatannya, ploi-ploinya, banyak dan persis seperti potret. "Semua itu saya sederhanakan dalam lukisan saya," ujar Darso.
Hal itu mungkin karena Sudarso penggemar wayang kulit yang fanatik. "Kesederhanaan wayang itu menarik. Lukisan wayang itu ekspresif dekoratif. Saya betul-betul kagum pada seni lukis wayang yang tinggi," katanya. Dalam melukis, dia merasa kurang sreg kalau tidak diiringi uyon-uyon atau klenengan.
"Wanita dalam wayang sungguh indah, pinggangnya kecil, badannya ramping, payudaranya montok. Saya seorang laki-laki yang tertarik pada wanita, itulah sebabnya saya melukis wanita. Mungkin karena saya orang Jawa, wanita Jawa paling menarik untuk dilukis. Kalau duduk luwes, sopan, tata kramanya tinggi, orangnya polos, lugu dan sederhana. Lebih menarik lagi ya wanita desa yang mengenakan kebaya, cantik, lembut," ujarnya serius.
Sudarso ingin wanita desa ini dijadikan monumen, untuk mengingatkan bahwa mereka bekerja lebih keras daripada laki-laki. Menurutnya, peran mereka besar sekali, mengurus anak, memasak, mencuci, dsb., tapi mereka tidak pernah mengeluh. Semuanya dilakukan karena cintanya pada keluarga. Hal itu juga merupakan keharusan, sebagaimana terungkap dalam lukisannya "Dik Kedah" (Kedah = Harus).
Betis Ken Dedes
"So, kalau melihat lukisanmu itu rasanya nglangut, jauh dan sepi," komentar Bung Karno suatu ketika.
Nglangut-nya bukan melankolis atau sedih. Latar belakangnya pun seolah memberi kesan sepi, seperti orang dalam kesendirian yang sedang beristirahat sehabis mengadakan perjalanan jauh. Penuh penantian. Namun, lukisan itu juga mampu mengungkapkan rahasia keindahan wanita yang nampak lewat kesederhanaan dan keluguannya.
Keakraban Sudarso dan Bung Karno barangkali tercipta karena mereka mempunyai kegemaran yang sama, sama-sama gemar wanita! Mereka juga mempunyai hobi yang sama, melukis dan menonton wayang. Bung Karno pernah menyuruh Sudarso membuat lukisan tentang Ken Arok. Yang menarik bukan Ken Aroknya, namun adegan sewaktu Ken Dedes turun dari tandu. Waktu itu Ken Arok jadi juru taman. Dia melihat kain Ken Dedes tersingkap, sehingga betisnya yang indah kelihatan. "Karena cerita itu bagus, maka saya lukis. Sayang, lukisan itu baru selesai ketika Bung Karno sudah meninggal," kenang Sudarso.
Ditukar dengan baju bekas
Di zaman Jepang, 1942, Sudarso pindah ke Jakarta. Dia bekerja di PUTRA (Pusat Tenaga Rakyat), bagian kebudayaan, bersama dengan Sudjojono, Dullah, dan Affandi. Ketika ibu kota RI pindah ke Yogyakarta, 194S, Sudarso dan kawan-kawan ikut mudik ke sana. Tahun 1951, dia ikut pula merintis berdirinya ASRI Yogyakarta.
Bila melukis, Sudarso memberikan perhatian khusus pada kaki dan tangan. "Kaki dan tangan itu bagus," ujarnya. Pernah dia melihat rekannya melukis orang yang memakai kebaya. Lukisannya bagus, penuh pesona, tapi kakinya mengenakan sepatu sandal. "Lah, buat saya itu janggal. Kenapa wanita yang begitu bagus pakai kebaya, kain, kok pakai sepatu?" kilahnya. Dia pun pernah dipuji orang dalam melukis tangan dan kaki, meskipun menurut Darso tangan dan kaki itu sukar dilukis.
Hasil lukisannya dari zaman revolusi dulu dia sudah tidak ingat persis ada di mana saja, yang jelas banyak yang dikoleksi Bung Karno.
Harga lukisan waktu itu murah sekali. Zaman susah, pembeli jarang, paling-paling pembelinya teman sendiri. Pernah dia melukis istrinya, lalu ada teman yang datang dan menginginkan lukisan itu untuk dibawa ke Negeri Belanda. Lukisan itu ditukar dengan satu sarung baru dan satu baju bekas serta sedikit uang.
Kini dia senang dengan lukisannya "Wanti-wanti", wanita Yogya penjual jamu. Juga lukisan seorang bakul wade (penjual kain). Idola Sudarso adalah wanita yang memakai kebaya, maka tidak mengherankan kalau sebagian besar lukisannya adalah wanita berkebaya. "Madonna pun dia lukis pakai kebaya."
Cap jempol
Kalau kita lihat, walaupun pernah belajar kepada Affandi, lukisan Sudarso sama sekali berbeda. Lukisannya tak pula sama dengan rekannya Sudjojono ataupun Dullah. "Semua pelukis mempunyai ‘cap jempol’-nya sendiri-sendiri," katanya. "Dullah itu naturalis, Sudjojono lebih ekspresif, dan Affandi lebih mengejar kebebasan. Nah, kalau ‘cap jempol’ itu sudah mendapat pengakuan, si pelukis pun bisa hidup dari kreasinya. Apalagi masyarakat Indonesia kini sudah mulai menghargai seni lukis," kata Sudarso.
Kini pameran lukisan sudah didatangi cukup banyak pengunjung. Lukisan pun selalu saja ada yang terjual, meskipun harganya sudah jauh lebih mahal dari zamannya merintis karier dulu.
Sejak 1980, Sudarso memilih tinggal di Bali. Sejak itu, dia mulai hidup senang. Kedelapan anaknya sudah dewasa, semuanya sudah berkeluarga. Kebanyakan mereka seniman. Ada yang menjadi penari, ada juga pelukis seperti bapaknya. "Darah seni itu mungkin mengalir dari saya," kata Sudarso bangga.