
Pengalaman Membuka Bisnis di Tanah Flores
Membahas suka-duka punya bisnis sendiri, langsung membawa ingatan pada sebuah babak tak terduga dalam hidup saya. Masih teringat jelas dalam pikiran saya bagaimana kami sekeluarga mengais rezeki di sebuah lanskap yang sama sekali berbeda dengan hiruk pikuk kota metropolis, yakni tanah Flores, tepatnya Kabupaten Nagekeo.
Kami datang bukan sebagai investor dengan modal besar, melainkan sebagai keluarga kecil dengan bekal kemampuan pas-pasan dalam meracik dessert dan yang terpenting, keberanian berwirausaha. Nyatanya, dengan bekal ala kadarnya itu, kami mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan berwiraswasta, sebuah bukti bahwa peluang bisnis bisa muncul di mana saja, bahkan di lokasi yang tidak terduga.
Rumah mertua kami di Flores memiliki sebuah kemewahan yang tidak kami dapati di rumah kami di tengah kampung padat Surabaya. Apa itu? Akses langsung ke Jalan Trans Ende-Bajawa yang terpampang di depan rumah. Ini adalah jalan provinsi yang ramai, jalur urat nadi logistik dan transportasi darat Flores. Solusi praktis untuk menyambung hidup terlihat jelas di sana. Logika sederhana kami, meletakkan barang dagangan apapun di pinggir jalan ini pasti akan menemukan pelanggannya.
Saya dan istri bersepakat untuk memulai usaha kuliner, menjual makanan atau minuman. Namun, kami memegang teguh satu pesan penting dari mertua saya: usahakan jangan menjual makanan berat (nasi bungkus, dll.). Alasannya bijak: ini bisa menjadi preseden tidak baik bagi salah satu tetangga dekat yang kebetulan sudah membuka warung makan.
Prinsip “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” adalah kunci. Kami bertindak bijak dengan membuat dan menjual produk yang belum banyak ada di kampung, yakni dessert. Observasi lapangan saya pribadi menunjukkan peluang pasar yang jelas.
Pertama, cukup banyak sopir oto dan ekspedisi trans Flores yang berhenti di depan rumah untuk sekadar meminum air mineral botol sambil beristirahat. Mereka mencari kesegaran instan. Kedua, jalan tersebut juga dilalui murid dari tiga sekolah besar: SD Boawae, SMP/SMA Klemens, dan SMA St. Fransiskus Xaverius yang berjalan kaki ke sekolahnya. Anak muda selalu mencari jajanan segar.
Peluang ketiga yang cukup besar, di hari akhir pekan, ribuan umat Gereja Paroki St. Fransiskus Boawae yang berasal dari daerah Rega, Aemali, maupun Yatim juga menjadi potensi pasar yang ingin kami maksimalkan. Kesimpulannya, kami akan menjual minuman Sop Buah, dengan Salad Buah dan Brownies Kukus sebagai opsi pelengkapnya. Ini adalah dessert yang membawa rasa "metropolis" dari Surabaya ke Nagekeo.
Eksklusivitas 'Jawa' dan Berdirinya Warung Davia
Proses membuka Warung Davia, begitu kami menamakan tempat jualan kami, tidak membutuhkan waktu lama. Keterbatasan modal tak menjadi hambatan, sebab orang tua sudah mempunyai meja, kursi, dan payung tenda yang bisa digunakan untuk perlengkapan usaha. Saya sendiri cukup mempunyai pengalaman dalam berwirausaha sehingga set-up bisnis berjalan cepat.
Dalam beberapa hari kami sudah bisa memilih tempat kulakan bahan minuman dan roti, maupun lokasi yang menjual buah dengan harga relatif murah. Untuk menambah kenyamanan dalam berjualan, dari perputaran laba yang didapat, kami bisa membeli etalase bekas milik tetangga sekitar dua minggu usai hari pertama berjualan. Cash flow langsung bekerja.
Kami memutuskan menamakan produk utama kami Sop Buah, bukan es buah ataupun es Manado. Ini adalah strategi diferensiasi. Es buah dengan air sirup sudah jamak didapati di pasar lokal. Kami ingin memberikan kekhasan dessert metropolis Surabaya yang pekat akan kuah es-nya. Kami menggunakan blenderan halus sirsat yang banyak ditemukan di kebun warga, sehingga rasanya lebih condong ke Es Manado yang kental dan asam manis.
Lantas, mengapa tidak kami namakan Es Manado? Sebab, selain Manado cukup dekat dengan Flores secara geografis, saya sendiri berasal dari Jawa. Nah, alasan terakhir inilah yang ternyata cukup kuat dan menjadi unique selling point tak terduga: kepercayaan kualitas warlok pada penjual dari Jawa.
Berdasarkan obrolan dengan beberapa orang, warga di sana ternyata lebih menaruh kepercayaan terhadap produk makanan atau minuman dari penjual asal Jawa. Alasannya sederhana namun kuat: lebih enak, lebih higienis, dan lebih bervariasi. Sentuhan tangan dari "luar" memberikan eksklusivitas tersendiri di mata konsumen lokal, dan kami memaksimalkan narasi tersebut melalui nama Sop Buah yang terkesan 'beda' dan 'kekinian' bagi telinga warga lokal. Warung Davia pun berdiri dengan brand positioning yang unik.
Laba Mengalir dan Kekuatan Bisnis Event
Secara garis besar, analisa pasar yang kami lakukan di awal cukup berbanding lurus dengan laba yang didapat. Ini adalah hasil dari lokasi strategis di jalan Trans Ende-Bajawa, dan produk yang berhasil menciptakan novelty (kebaruan) di lidah lokal. Dalam sehari, kami bisa menjual minimal 100 cup sop buah dan salad, serta sekitar 30 mika brownies kukus. Ini adalah angka yang cukup menjanjikan, apalagi kami berjualan di jalan Trans Ende-Bajawa hanya dalam durasi pendek, dari pukul 09.00 sampai 15.00 WITA.
Perkiraan laba kotor harian ada di kisaran Rp 150.000 hingga Rp 300.000. Tidak terlalu besar margin yang kami ambil, karena kami memilih kemudahan harga 5.000 dan 10.000 sebagai pertimbangannya. Untuk ukuran bisnis mikro di daerah, angka ini sudah bisa menopang kebutuhan sehari-hari kami. Laba ini memang tidak menggunung, tetapi yang terpenting, bisa mengalir.
Opsi lain yang kami kembangkan dan menjadi penyangga utama perputaran modal adalah dengan menerima pesanan. Masyarakat Flores sangat sering mengadakan pesta, mulai dari pernikahan, syukuran, hingga seremoni adat. Acara-acara ini selalu membutuhkan porsi katering yang besar dan variasi makanan/minuman yang menarik. Jualan dessert ala Warung Davia menjadi pilihan ideal untuk menyegarkan hidangan utama yang biasanya berupa makanan berat.
Seringnya pesta yang diadakan masyarakat Flores membuat bisnis ini, meski tidak menghasilkan laba harian yang menggunung, bisa mengalir lancar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bisnis kami tidak hanya menjual produk, tetapi juga mengisi gap pasar akan variasi makanan penutup untuk acara-acara lokal.
Senandung Duka di Kaki Gunung dan Isu Persaingan
Pada akhirnya, sebagai seorang entrepreneur yang jujur, saya tidak bisa hanya bicara hal-hal baik saja untuk pengalaman nyata berwirausaha ini. Tantangan terbesar berjualan di kaki Gunung Ebulobo tentu adalah cuaca. Selama durasi kami berada di Flores, dari bulan November sampai Juli, kami sama sekali tidak bisa memprediksi kapan hujan akan tiba.
Awan yang terkumpul dengan singkat dari uap air Laut Flores bisa tumpah dengan cepat ketika melewati dinginnya dataran tinggi Bajawa atau Nagekeo. Pukul 9 pagi bisa panas terik, namun jam 1 siang bisa hujan lebat. Ini tentu sangat berpengaruh dengan timing kami dalam menyiapkan produk fast moving seperti sop buah dan salad. Konsumen tentu ingin produk yang fresh. Solusinya, kami membagi proses pembuatan menjadi dua periode: pagi jam 7 untuk jualan pagi, lalu jam 10 untuk jualan siang. Ini memastikan kualitas produk selalu prima.
Tantangan berikutnya, tentu adalah persaingan. Harus saya akui, masyarakat Nagekeo sebenarnya tidak berkekurangan untuk membeli produk makanan atau minuman; hanya yang mereka belum dapatkan adalah variasi produk. Dengan menyeberangkan dessert metropolis Surabaya ke Nagekeo, saya berhasil membuat lidah mereka mendapatkan rasa baru. Rasa baru ini bukan hanya untuk pelanggan, tetapi juga menarik perhatian warga lain yang menunggu inovasi untuk ditiru ide bisnisnya.
Sebulan usai kami membuka Warung Davia, ada sekitar 3 tempat jualan es gelasan lain yang ada di sekitar kami. Ini adalah hal wajar dalam dunia usaha, apalagi di depan mata ada momen bulan puasa yang pastinya umat muslim akan berburu takjil. Inovasi selalu diikuti oleh imitasi. Namun, ada sedikit nyesek yang saya rasakan. Ketika kita kembali ke awal artikel, orang tua kami melarang menyamai usaha tetangga yang sudah ada.
Ironisnya, usai usaha kami lancar, mereka justru cukup permisif ketika tetangga lain atau bahkan saudara kami membuat usaha sejenis, meski tidak serupa. Alasan utamanya: kami toh akan kembali ke Surabaya, dan biarlah saudara yang akan melanjutkan usahanya. Mungkin ini adalah bagian dari kearifan lokal yang harus kami terima. Inilah entrepreneurship dengan local wisdom. Tidak ingin berkomentar lebih jauh, kami hanya bisa berucap terima kasih karena sudah diberikan waktu dan tempat untuk menyambung hidup, yakni Warung Davia.