
Perubahan Sistem Rujukan dalam JKN: Menuju Efisiensi dan Kepuasan Pasien
Pemerintah sedang mempersiapkan perubahan besar dalam sistem rujukan berjenjang dalam layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tujuan utama dari reformasi ini adalah untuk mengurangi biaya pengobatan dan mempercepat penanganan pasien. Sebelumnya, pasien harus melewati beberapa tahapan rumah sakit dengan kelas yang berbeda sebelum akhirnya mendapatkan perawatan di rumah sakit tipe A.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menilai bahwa sistem rujukan yang selama ini berjalan tidak lagi relevan dengan kebutuhan pelayanan medis masa kini. Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Kemenkes, Azhar Jaya, menjelaskan bahwa pola rujukan akan disesuaikan berdasarkan kompetensi medis, bukan lagi tingkat jenjang rumah sakit seperti sebelumnya.
“Ke depan, kami juga akan memperbaiki terkait dengan rujukan. Kalau saat ini adalah rujukannya berjenjang, yaitu dari rumah sakit kelas D, kemudian kelas C, kemudian kelas B, sampai kelas A, maka ke depan kami akan melakukan perubahan perbaikan rujukan, menjadi rujukan berbasis kompetensi,” ujar Azhar dalam rapat bersama Komisi IX DPR.
Dalam sistem rujukan yang selama ini berjalan, pasien sering menghadapi proses panjang sebelum mendapatkan layanan kesehatan di rumah sakit tipe A. Proses ini melibatkan beberapa tahapan dari fasilitas kesehatan primer hingga rumah sakit tipe D atau C, kemudian tipe B, sebelum akhirnya dilayani di RS tipe A. Hal ini menyebabkan biaya yang berulang dan waktu yang terbuang.
Desain Baru Sistem Rujukan
Dalam desain baru, rumah sakit tidak lagi diklasifikasikan berdasarkan tipe D hingga A, melainkan berdasarkan kompetensi medis. Fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) akan merujuk ke FKTP lainnya atau langsung ke rumah sakit madya hingga paripurna, tergantung pada tingkat keparahan penyakit.
“Perbaikan rujukan berjenjang ini berdasarkan kriteria sesuai indikasi medis atau tingkat keparahan penyakit yang ditentukan tenaga medis berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi nanti Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) bisa merujuk ke FKT lainnya, atau dari FKTP ke RS Madya hingga Paripurna,” kata Azhar.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menilai bahwa masyarakat akan lebih diuntungkan bila bisa langsung dirujuk ke fasilitas yang mampu menangani penyakitnya tanpa harus melalui beberapa lapis rumah sakit. Dengan sistem baru ini, BPJS Kesehatan dapat menghemat biaya karena hanya perlu membayar satu rumah sakit yang benar-benar menangani pasien hingga tuntas.
Tantangan dalam Penerapan
Meski ada potensi efisiensi besar, ada juga tantangan yang harus dihadapi. Anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani Chaniago, mengingatkan bahwa penghapusan sistem rujukan berjenjang harus diikuti dengan peningkatan fasilitas dan tenaga kesehatan di semua tipe rumah sakit.
Ia khawatir kebijakan baru tersebut hanya berujung pada pemindahan beban ke rumah sakit tipe A yang jumlahnya terbatas. “Jika memang seperti itu tentu kami di Komisi IX bukan sekadar setuju, tapi juga pasti memberikan support. By the way, apakah RS tipe A yang berkompeten tersebut mampu menangani semua pasien rujukan tersebut? Itu pertanyaannya,” ujar Irma.
Ia juga mengkhawatirkan kapasitas rumah sakit tipe A yang umumnya tidak cukup besar untuk menampung seluruh pasien rujukan. Ia menyarankan agar seluruh tipe rumah sakit diperkuat fasilitas dan sumber daya manusianya, sehingga tidak bergantung pada rumah sakit tipe A.
Penjelasan dari BPJS Kesehatan
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menegaskan bahwa pihaknya tidak menerapkan rujukan berjenjang secara kaku. Menurut dia, penentuan rujukan sepenuhnya ditentukan oleh kondisi medis pasien, bukan urutan administratif.
“Boleh, BPJS boleh. Tapi tergantung kasusnya gitu loh ya. Kasusnya cuma perlu di tipe C atau ke tipe B ya gitu. Tipe B atau tipe C. Tapi kalau enggak mungkin di tipe C, mungkinnya cuma di tipe A. Kenapa tidak begitu? Langsung,” kata Ali.
Ali menekankan bahwa rujukan langsung tetap dimungkinkan bila layanan spesialistik yang dibutuhkan hanya tersedia pada RS level tinggi. Namun, pemahaman publik sering kali keliru karena melihat pola pergerakan pasien yang tampak berjenjang.