Kasus Korupsi Dana Tabungan Hari Tua ASN: Ekiawan Heri Primaryanto dan Antonius Kosasih Divonis
Kasus korupsi dana tabungan hari tua (THT) ASN di PT Taspen kembali menjadi perhatian publik setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memamerkan uang sitaan sebesar Rp 300 miliar dari terpidana kasus tersebut. Uang tersebut berasal dari Ekiawan Heri Primaryanto, mantan Direktur PT Insight Investment Management yang telah dipidana karena melakukan tindakan korupsi.
Ekiawan Heri Primaryanto adalah salah satu pelaku utama dalam kasus investasi fiktif di PT Taspen. Ia bersama dengan Antonius Kosasih, mantan Direktur Utama PT Taspen, terbukti melanggar hukum dengan mengelola dana THT ASN yang mencapai Rp 1 triliun. Dalam perkara ini, KPK menyita uang senilai Rp 883 miliar dari Ekiawan dan sekitar Rp 160 miliar dari Antonius Kosasih.
Pada jumpa pers yang digelar di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa total kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 1 triliun. Kerugian tersebut berdasarkan laporan hasil pemeriksaan investigatif oleh Badan Keuangan Negara (BPK) Republik Indonesia pada 22 April 2025.
Meskipun jumlah kerugian negara mencapai Rp 1 triliun, KPK hanya menyerahkan uang senilai Rp 883 miliar kepada PT Taspen. Dana tersebut telah disetorkan ke rekening giro Tabungan Hari Tua (THT) Taspen di BRI Cabang Veteran, Jakarta, pada 20 November 2025.
Dalam jumpa pers, KPK memamerkan uang sebesar Rp 300 miliar yang merupakan bagian dari lebih dari Rp 883 miliar uang rampasan dari Ekiawan Heri Primaryanto. Namun, Asep menjelaskan bahwa uang yang ditampilkan tidak bisa diperlihatkan seluruhnya karena keterbatasan tempat dan alasan keamanan.

Menurut Jaksa Eksekusi KPK, Leo Sukoto Manalu, uang senilai Rp 300 miliar yang dipamerkan berasal dari pinjaman bank BUMN. Pinjaman tersebut dilakukan untuk keperluan jumpa pers terkait penyerahan uang senilai Rp 883 miliar kepada PT Taspen. “Kita tadi pagi masih bisa komunikasi dengan BNI Mega Kuningan, mohon dipinjami uang Rp 300 miliar. Jadi uang ini kami pinjam dari BNI Mega Kuningan,” jelas Leo dalam jumpa pers.
Leo juga memastikan pengamanan uang dari BNI Mega Kuningan berlangsung ketat. “Jam 16.00 WIB sore, kita akan kembalikan lagi uang ini. Kita juga akan dibantu pengamanan dari kepolisian,” tambah dia.
Profil Ekiawan Heri Primaryanto
Ekiawan Heri Primaryanto adalah seorang profesional yang memiliki pengalaman panjang di dunia pasar modal. Ia mengawali kariernya pada tahun 1999 setelah menyelesaikan pendidikan di Universitas Indonesia pada 1997. Selama berkarier, ia menjabat berbagai posisi penting.
Pada 14 Januari 2025, KPK resmi menahan Ekiawan untuk proses hukum lebih lanjut. Mantan Direktur Utama PT Insight Investment Management ini akhirnya divonis 9 tahun penjara atas perbuatannya dalam kasus korupsi investasi fiktif Rp 1 triliun di PT Taspen.
Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Purwanto S. Abdullah dalam sidang putusan perkara tersebut di PN Tipikor Jakarta Pusat, Senin (6/10/2025). Atas perbuatannya, Ekiawan dihukum pidana penjara selama 9 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta. Jika denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Selain itu, Ekiawan juga dihukum membayar uang pengganti sebesar 253,660 dolar AS. Jika tidak dapat membayar, harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal tidak memiliki harta benda yang cukup, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.
Dirut PT Taspen Divonis 10 Tahun Penjara
Sementara itu, eks Direktur Utama PT Taspen, Antonius NS Kosasih, juga divonis 10 tahun penjara karena terbukti bersalah dalam kasus pengelolaan investasi fiktif. “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara,” ujar Hakim Ketua Purwanto S Abdullah saat membacakan amar vonis dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (6/10/2025).
Selain pidana penjara, Kosasih juga divonis untuk membayarkan uang pengganti senilai Rp 29,152 miliar, 127.057 Dollar Amerika Serikat (AS), 283.002 Dollar Singapura, 10.000 Euro, 1.470 Baht Thailand, 30 Poundsterling, 128.000 Yen Jepang, 500 Dollar Hong Kong, dan 1,262 juta Won Korea, serta Rp 2.877.000.
Jika uang pengganti ini tidak dibayarkan dalam waktu satu bulan setelah keputusan berkekuatan hukum tetap, harta dan aset Kosasih akan dirampas untuk negara dan dilelang untuk menutupi kerugian keuangan negara. Dalam hal tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama tiga tahun.
Hakim menilai perbuatan Kosasih bersama Ekiawan telah memenuhi unsur melawan hukum. Hal ini terlihat dari beberapa aspek, mulai dari penunjukkan PT Insight Investment Management (PT IIM) sebagai pengelola yang ditugaskan untuk melakukan investasi reksadana I-Next G2, dilakukan melalui mekanisme penunjukan langsung tanpa melakukan tender. Proses penjualan aset PT Taspen berupa sukuk ijarah SIAISA02 dan investasi dana Rp 1 triliun ke reksadana I-Next G2 melalui broker PT IIM, KB Valbury Sekuritas Indonesia, juga dinilai merupakan perbuatan melawan hukum karena tidak didahului dengan kajian yang memadai.
Perbuatan kedua terdakwa dinilai merugikan keuangan negara hingga Rp 1 triliun. Untuk melakukan perbuatannya, terdakwa menggunakan modus operandi yang kompleks dan berlapis demi menyamarkan langkah mereka. Perbuatan para terdakwa juga menurunkan kepercayaan publik, terutama dari para pensiunan aparatur sipil negara (ASN) yang gajinya setiap bulan sudah dipotong untuk dana pensiun.
Hakim menilai perbuatan terdakwa juga melukai 4,8 juta pensiunan ASN yang terdaftar sebagai penerima manfaat Taspen. Para penerima manfaat ini seharusnya dapat menggunakan dana tabungan mereka untuk membiayai kehidupan di masa tua. Namun, dana ini justru disalahgunakan dan dikorupsi.
Kedua terdakwa dinilai terbukti melanggar dakwaan primair JPU sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.