
DEPOK, Erfa News–
Di tengah deretan ruko dan bangunan modern yang padat di Jalan Pemuda, Depok, sebuah rumah tua bergaya kolonial tetap berdiri tenang dan menyimpan sejarah panjang kota itu.
Rumah yang dibangun pada 1933 ini merupakan kediaman Johannes Mathijs Jonatan, Presiden Depok terakhir, dan kini ditempati oleh cucunya, Yahya Jonathan, yang lahir dan besar di sana.
Dari luar, rumah itu hampir tak terlihat. Sebuah ruko baru menutup hampir seluruh fasad, sehingga banyak orang salah mengira ruko itulah “rumah presiden Depok”.
Padahal, sekitar 30 meter di dalam pagar besi sederhana, rumah kolonial dengan jendela krepyak tinggi, teras lebar berlantai tegel merah, dan pintu-pintu kayu besar masih berdiri kokoh.
“Kalau disebut Istana itu kelihatannya besar ya, padahal ini rumah pribadi saja. Setiap presiden Depok punya rumah masing-masing, bukan rumah dinas," ujar Yahya saat ditemui Erfa News, Kamis (20/11/2025).
Rumah Tiga Generasi
Suasana rumah tua itu masih khas bangunan kolonial saat Erfa Newsmengunjungi bangunan rumah bekas "Istana Presiden" Depok tersebut.
Pengunjung harus masuk melewati pagar hitam yang letaknya berada di samping ruko yang dipergunakan sebagai rumah makan Padang dan warung sembako itu.
Erfa News pun disambut dengan ramah saat mencoba memberi tahu maksud kedatangan pada hari itu.
“Masuk, buka aja pagarnya,” ujar sang tukang kebun yang sedang mengarit rumput di halaman rumah tersebut.
Setelah beberapa kali mengetuk dan memberi salam, salah seorang anggota keluarga pun keluar, dan meminta untuk menunggu sebentar di depan.
Di tempat itu juga Yahya menceritakan tentang sejarah bangunan itu, dia bilang penggunaan kata "Istana Presiden" kurang tepat, lantaran bangunan itu dulunya hanyalah rumah biasa yang ditinggali oleh kakeknya yang kebetulan Presiden terakhir Depok.
Dirinya bercerita sudah tinggal di rumah tersebut sejak lahir, dari logatnya pun samar-samar terdengar khas orang Belanda yang bisa berbahasa Indonesia.
Ayah Yahya, lahir tahun 1922, juga tinggal sejak lahir di rumah yang sama. Begitu pula sang kakek, meski pada masa itu rumahnya masih berupa bilik kayu.
Rumah ini, bisa dibilang, adalah rumah yang menyimpan tiga generasi sejarah Depok dalam satu garis keluarga.
“Warisan dari keluarga,” katanya singkat.
Tak Sekadar Tempat Tinggal
Yahya menekankan, rumah ini lebih dari sekadar bangunan tua. Setiap sudutnya menyimpan jejak perjalanan keluarga dan sejarah Depok.
“Tapi yang lebih penting, ini tempat tinggal kakek saya, Presiden Depok yang terakhir," sambung dia.
Pada 1952, rumah ini menjadi saksi negosiasi besar saat pemerintah Indonesia menghapus sistem tanah partikelir.
Tanah-tanah Depok yang sebelumnya merupakan wilayah partikelir atau semacam daerah swasta dengan pemerintahan sipil sendiri harus diserahkan kepada negara. Negosiasi berlangsung di rumah ini.
“Presiden Bogor datang ke sini buat negosiasi dengan kakek saya. Semua prosesnya dilakukan dari rumah ini,” tutur Yahya.
Luas tanah partikelir Depok saat itu sekitar 12.284 hektare, dengan batas-batas historis yang kini tak lagi dikenal masyarakat umum. Dari Ratu Jaya di selatan, melintang ke Mampang di barat, dan Poncol di timur.
“Sebenarnya kami ini dulu punya hukum sendiri. Bukan hukum Belanda, bukan VOC. Pemerintahan sipil sendiri. Makanya disebut Presiden Depok,” kata Yahya.
Istilah “presiden” sendiri bukan merujuk pada kepala negara, melainkan pemimpin pemerintahan sipil ala Republik kecil yang dibentuk R.H. Clain pada 1871.
"R.H. Clain itu membuat suatu struktur pemerintahan sipil yang berbentuk pemerintahan desa berbentuk Republik. Jadi karena Republik itu kan berarti kepalanya Presiden," kata dia.
Pelestarian Arsitektur Kolonial
Rumah ini masih mempertahankan banyak elemen asli. Plafon terakhir diperbarui pada 1975, dinding tetap menggunakan bahan kapur dan pasir. Cat terakhir diperbarui sekitar 10 tahun lalu.
“Dulu plafonnya dari bilik. Ayah saya ganti jadi eternit. Reng-reng bambu diganti kayu. Genteng Depok juga dulu semua, sekarang ganti genteng kodok karena yang asli udah susah,” ujarnya sambil menunjuk ke arah langit-langit yang tinggi. Selain itu, tak banyak yang berubah.
“Yang asli ya masih asli. Tembok-tembok masih kuat, padahal bahannya kapur dan pasir. Nggak ada semen. Tapi hasilnya rata, orang dulu pinter," katanya terkekeh kecil.
Meski menambahkan ruko di depan untuk pemasukan keluarga, Yahya enggan mengubah bentuk rumah kolonialnya. Itu juga pesan ayah-ibunya sebelum meninggal.
Ruko yang Menutupi Rumah Bersejarah
Ia juga bercerita, ruko yang berada persis di depan rumahnya itu sebenarnya adalah bangunan baru yang ia bangun sejak dua tahun lalu, untuk menambah pemasukan keluarga.
Menurut dia, banyak masyarakat terutama di media sosial salah paham, beranggapan bahwa bangunan rumah itu lah yang di ubah menjadi ruko.
Padahal, kata Yahya, dirinya pun enggan meninggalkan rumah tersebut, apalagi merubah bentuk bangunan hampir sepenuhnya.
"Jadi dulunya sih enggak ada ini (ruko) ini dibangun 2019 akhir ya. Sampai 2020 lah. Finish-nya 2020 lah Maret. Jadi saya waktu pensiun 2019 kan. Ya saya untuk muter uang aja," ujarnya.
Ruko itu tanpa sengaja menutupi fasad rumah, membuat bangunan bersejarah ini semakin tak terlihat. Hanya mereka yang masuk gerbanglah yang bisa menyaksikan kemegahan tersembunyinya.
Upaya Menjadi Cagar Budaya
Tahun ini, Yahya mengajukan rumahnya sebagai Cagar Budaya. Selain untuk pelestarian, status itu juga dapat memberikan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Namun, bagi Yahya, alasan utama adalah nilai historis dan emosional lantaran rumah ini membentuk identitas keluarga dan menyimpan sejarah Depok.
Dinding-dinding kayu, jendela besar bergaya kolonial, serta pekarangan kecil di samping rumah menyimpan jejak cerita yang tak bisa dinilai dengan nominal rupiah.
Tempat itu menjadi saksi perjalanan panjang keluarga, mulai dari masa kakek buyut hingga anak cucu yang tumbuh di halaman yang sama.
"Kami sudah turun-temurun disini. Jadi kami mau pindah dimana-mana kayaknya rasa berat gitu. Apalagi dari kecil juga," tuturnya.
“Biar pemerintah membantu melestarikan saja, kita tetap pemilik. Rumah ini bukan cuma bangunan tua, tapi ruang hidup yang membentuk keluarga kami,” ujarnya.
Dikenal dan Dihargai Warga
Warga yang tinggal di sekitar lokasi menyebut rumah bergaya kolonial di belakang deretan ruko itu sudah ada sejak lama dan dikenal sebagai salah satu rumah tua di kawasan tersebut.
Lilis (48), yang menetap di lingkungan itu sejak 1998, mengatakan bahwa bangunan tersebut dulunya terlihat jelas dari jalan besar sebelum deretan ruko dibangun.
“Tahu, tahu. Soalnya dulu sebelum ada ruko itu, rumahnya kelihatan jelas dari jalan. Modelnya tuh khas banget. Dari awal saya pindah ke sini udah tahu kalau itu rumah tua peninggalan Belanda. Memang itu rumah lama,” ujar Lilis.
Meski tak mengetahui secara pasti fungsi awal bangunan tersebut, Lilis menyebut warga sekitar sejak dulu meyakini bahwa rumah itu merupakan peninggalan orang Belanda.
Menurut Lilis, bangunan itu memiliki nilai sejarah tersendiri karena jumlah rumah kolonial yang masih bertahan di Depok semakin sedikit.
“Lumayan. Soalnya jarang banget rumah kolonial yang masih asli di Depok. Jadi ya menurut saya itu ada nilai sejarahnya, minimal buat ingatan Depok lama,” katanya.
Lilis menambahkan, deretan ruko di depan rumah tersebut mulai dibangun saat kawasan itu mulai ramai usaha. Ia menyatakan mendukung bila bangunan tersebut kelak ditetapkan sebagai cagar budaya.
“Saya setuju. Malah bagus. Biar pemerintah tahu masih ada bangunan yang harus dijaga. Dan orang Depok juga bisa tahu sejarahnya, bukan cuma lewat online,” katanya.
Pendapat serupa juga disampaikan Reza (26), warga lainnya. Menurut dia, rumah yang tertutup bangunan ruko itu sudah berdiri sejak ia kecil.
“Kalau spesifik Belanda sih saya nggak tahu. Yang saya tahu itu rumah tua yang udah ada dari dulu sebelum rame,” kata Reza.
Ia mengatakan rumah itu sebelumnya terlihat jelas sebelum deretan ruko menutup bagian depannya.
“Dari kecil. Soalnya sebelum ruko-ruko itu dibangun, rumahnya kelihatan banget dari jalan. Baru nutup pas ruko jadi sekitar tahun 2020-an, pandemi kalau ga salah,” katanya.
Melihat ukuran dan bentuk bangunannya, Reza menduga rumah tersebut dahulu dihuni keluarga terpandang di kawasan itu. Reza juga setuju bila bangunan itu ditetapkan sebagai cagar budaya.
“Ya setuju, bagus-bagus aja kalau memang ada dasarnya dan kalau memang itu bangunan bersejarah, dirawatlah, jangan sampai hilang,” ujarnya.
Mengundang Banyak Peneliti Sejarah
Meski rumah pribadi, Yahya sangat terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar sejarah Depok.
“Walking tour suka datang. 15 orang, 20 orang, saya terima. Guide-nya cerita, saya tambahin kalau ada yang kurang,” katanya.
Mahasiswa Universitas Indonesia (UI), peneliti, hingga mahasiswa Belanda dari Rotterdam dan Amsterdam pernah datang meneliti struktur rumah.
Menurut Yahya, data sejarah Depok banyak yang hilang, sehingga apa yang ia tahu pun terkadang berasal dari upaya penelusuran orang lain, salah satunya Jan Karel, keturunan Depok-Belanda yang tengah mengulas asal usul neneknya.
"Karena data-datanya dulu banyak hilang gitu ya. Jadi sejarahnya dtulisnya sepotong-sepotong gitu. Banyak kehilangan gitu," kata dia.
Di rumah ini, ia tinggal bersama istri dan seorang anak. Adiknya tinggal di bagian belakang rumah, masih satu bangunan besar yang sama.
"Anak satu saya. Saya cuma dua bersaudara saya sama adik saya. Adik saya itu tinggal di belakang, masih satu bangunan, Tapi ya sehari-hari kita tinggal ngumpul aja di sini. Kalau di sini saya bertiga aja," jelasnya.