Fakta-Fakta Al-Majd Eropa: Pahlawan Evakuasi Gaza yang Viral

Erlita Irmania
0

Organisasi yang Mengklaim Ahli Evakuasi Konflik


Al-Majd Europe, sebuah kelompok yang mengaku sebagai lembaga penyelamat warga Palestina dari zona konflik, telah menjadi sorotan setelah sejumlah besar penduduk Gaza tiba di Afrika Selatan. Kelompok ini menyatakan diri sebagai organisasi yang berdiri sejak 2010 di Jerman, dengan pusat komando di Yerusalem. Mereka menawarkan layanan evakuasi darurat, distribusi makanan mendesak, serta bantuan medis bagi komunitas Muslim yang terkena dampak konflik.

Situs resmi Al-Majd Europe memperlihatkan kemampuan mereka dalam mengakses layanan kesehatan vital dan proses perjalanan ke luar negeri bersama anggota keluarga. Pendaftaran di situs tersebut ditujukan khusus bagi warga Gaza yang ingin keluar untuk memulai kehidupan baru. Namun, catatan digital menunjukkan bahwa domain almajdeurope.org baru didaftarkan pada Februari 2025. Situs tersebut tidak mencantumkan alamat fisik maupun nomor telepon resmi, hanya memberikan petunjuk lokasi di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur, yang tidak dapat diverifikasi.

Respons otomatis dari surel info@almajdeurope.org bahkan menyatakan bahwa akun tersebut tidak ada, menambah keraguan publik mengenai validitas organisasi ini. Hal ini membuat banyak orang bertanya-tanya apakah Al-Majd Europe benar-benar menjalankan misi kemanusiaan atau hanya memiliki tujuan lain yang lebih rumit.

Prosedur Evakuasi yang Berlapis dan Membingungkan


Kisah ini dimulai ketika Loay Abu Saif melihat promosi evakuasi di media sosial dan memutuskan kabur bersama keluarganya ke Johannesburg. Setiap penumpang dikenai biaya antara 1.500 hingga 5 ribu dolar AS (sekitar Rp25-83 juta), melalui transfer ke rekening pribadi, bukan lembaga resmi. Para peserta evakuasi diarahkan berkumpul di titik tertentu di Gaza sebelum dipindahkan menuju pos lintas Karem Abu Salem. Setelah itu, mereka diterbangkan melalui Bandara Ramon di Israel, transit di Nairobi, lalu mendarat di Johannesburg.

Boarding pass mereka memuat tujuan berbeda-beda seperti India, Malaysia, dan Indonesia, sehingga hampir semua penumpang tidak mengetahui ujung perjalanan yang sesungguhnya. Penerbangan itu terjebak di landasan hampir 12 jam karena ketiadaan stempel keluar Gaza dan gagalnya rencana penginapan. Di dalam kabin, suasana sangat memprihatinkan karena tidak tersedia makanan dan minuman, popok bayi tidak diganti seharian, serta beberapa balita mengalami kejang. Begitu mendarat, penumpang hanya diberikan alamat tempat tinggal sementara selama seminggu, sebelum saluran WhatsApp penyelenggara hilang begitu saja.

Gelombang ini merupakan penerbangan kedua setelah perjalanan pertama pada 28 Oktober 2025 yang membawa sekitar 180 orang. Mereka juga mendarat tanpa arahan jelas dan hanya mendapatkan tempat singgah sementara. Beberapa penumpang dari kelompok awal bahkan menunggu kerabat yang ikut penerbangan lanjutan.

Peran Otoritas Israel dan Reaksi Afrika Selatan


Seorang pejabat militer Israel tanpa identitas mengonfirmasi kepada Associated Press (AP) bahwa Israel mempermudah perpindahan warga Gaza ke pos Karem Abu Salem. Juru bicara Badan Koordinasi Urusan Pemerintahan di Wilayah Pendudukan (COGAT), Shimi Zuaretz, mengatakan izin diberikan setelah negara ketiga menyetujui penampungan, meski ia tidak menjelaskan negara mana yang dimaksud.

Penumpang mengalami kehilangan barang bawaan karena mereka hanya diperbolehkan membawa dompet, ponsel, paspor, serta pakaian di badan. Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, menggambarkan warga itu sebagai orang-orang dari Gaza yang secara misterius ditempatkan di pesawat dan patut diselidiki karena terlihat seperti telah dibuang dari wilayah asalnya. Komentar tersebut memperlihatkan betapa anehnya mekanisme transfer ini di mata pemerintah setempat.

Duta Besar Palestina di Afrika Selatan memberikan pernyataannya. “Organisasi tidak terdaftar dan menyesatkan yang mengeksploitasi kondisi kemanusiaan tragis rakyat kami di Gaza, menipu keluarga, mengumpulkan uang, dan memfasilitasi perjalanan secara tidak teratur dan tidak bertanggung jawab,” ujarnya, dikutip dari Middle East Eye. Aparat intelijen Afrika Selatan kini tengah mendalami kasus untuk mengetahui pihak yang mengatur dan tujuan akhir operasi ini.

Tuduhan Kedok Israel Hingga Anomali Konten Situs


Dilansir dari Middle East Eye, pegiat Na’eem Jeenah, seorang akademisi dan aktivis di Johannesburg, menilai Al-Majd Europe sebagai kedok bagi negara Israel dan dinas rahasianya untuk mendukung pengusiran etnis Gaza. Aktivis Social Intifada, Khalid Vawda, menambahkan bahwa Israel memanfaatkan kerentanan warga Palestina yang mengalami gangguan stres pascatrauma akibat dua tahun genosida sekaligus meraup keuntungan dari kondisi tersebut. Suara-suara kritis ini memperluas spektrum kecurigaan publik.

Salah satu konten situs Al-Majd menampilkan kisah Mona berusia 29 tahun dari Aleppo bertanggal 22 Maret 2023. Namun, domain situs baru didaftarkan sepuluh bulan setelah tanggal tersebut. Foto yang menyertai kisah itu memperlihatkan Abeer Khayat berusia 33 tahun saat dipotret jurnalis Madeline Edwards pada 2024 di Tripoli, Lebanon, untuk Middle East Eye. Pegiat Sarah Oosthuizen yang membantu para penumpang di Johannesburg menyamakan situasi itu dengan perdagangan manusia karena peserta evakuasi tidak mengetahui tujuan akhir. Banyak warga Gaza menghubungi Al-Majd melalui utusan Palestina di WhatsApp, menganggapnya sebagai satu-satunya jalur keluar karena penyeberangan Rafah ditutup.

Respons Afrika Selatan dan Seruan Investigasi


Setelah lobi dari kelompok masyarakat sipil, pemerintah Afrika Selatan mengizinkan penumpang turun dan memberikan visa tinggal 90 hari atas dasar kemanusiaan. GOTG menyediakan akomodasi sementara bagi para pengungsi yang kelelahan setelah perjalanan panjang tanpa kepastian. Dari seluruh penumpang, 23 orang melanjutkan perjalanan ke negara lain tanpa keterangan lebih jauh.

Para pegiat menuntut penyelidikan menyeluruh terhadap Al-Majd Europe serta sikap pemerintah Afrika Selatan, yang dinilai mencoreng posisi negara itu sebagai pendukung Palestina di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ). Mereka memandang pola keberangkatan warga Gaza mengindikasikan adanya campur tangan dalam negara Israel dan pelanggaran hak asasi warga yang ingin melarikan diri dari kekejaman genosida. Seruan ini memperlihatkan urgensi untuk membuka seluk-beluk operasi tersebut.

Kementerian Luar Negeri Palestina menyampaikan apresiasi kepada pemerintahan Ramaphosa, meskipun pegiat mengkritik Otoritas Pengelola Perbatasan yang dianggap lamban merespons situasi darurat para penumpang. Menteri Dalam Negeri Leon Schreiber dari Aliansi Demokrat (DA) turut terlibat dalam keputusan akhir setelah data tambahan diajukan.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default