
Pengesahan KUHAP Baru dan Kontroversi yang Mengiringinya
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah resmi mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi undang-undang baru dalam rapat paripurna, pada Selasa (18/11/2025). Regulasi ini menggantikan KUHAP lama yang telah berlaku selama 44 tahun. Namun, pengesahan tersebut diiringi dengan kontroversi, khususnya terkait sejumlah pasal yang dinilai membuka ruang penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum.
Pemerintah dan DPR menyatakan bahwa KUHAP baru lebih melindungi warga negara serta mengakomodasi kelompok rentan. Namun, masyarakat sipil menilai ada persoalan fundamental yang diabaikan. Ketegangan argumen ini memunculkan kembali debat lama soal batas kontrol terhadap kekuasaan negara dalam proses peradilan pidana.
Empat Isu yang Diklaim sebagai Hoaks oleh DPR
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, dalam rapat paripurna, menyebut ada empat hoaks yang beredar di media sosial terkait isi RUU KUHAP. Menurutnya, narasi tersebut tidak berdasar dan telah memengaruhi opini publik. Empat isu yang ia sebut “hoaks” adalah:
- Polisi bisa menyadap tanpa izin pengadilan
- Polisi dapat membekukan tabungan masyarakat secara sepihak
- Polisi bisa mengambil ponsel dan data elektronik tanpa prosedur
- Polisi dapat menangkap dan menahan tanpa adanya konfirmasi tindak pidana
“Hoaks keempat, polisi bisa menangkap, melarang meninggalkan tempat, menggeledah, bahkan melakukan penahanan tanpa konfirmasi tindak pidana. Hal ini juga tidak benar,” ujar Habiburokhman. Ia menegaskan bahwa seluruh tindakan tersebut tetap mensyaratkan izin pengadilan atau minimal dua alat bukti, sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 93, Pasal 99, dan Pasal 139 RUU KUHAP.
Namun, pernyataan Habiburokhman langsung dibantah keras oleh Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur. Menurutnya, tuduhan hoaks justru menyesatkan publik. “Hoaks gimana? Itu ada undang-undangnya kok, bisa berdasar penilaian penyidik saja, tanpa izin ketua pengadilan,” kata Isnur saat dihubungi Erfa News, Selasa.
Ia menegaskan bahwa hampir seluruh pasal terkait penggeledahan, penyitaan, pemblokiran, hingga penyadapan memuat klausul yang sama: ada kewajiban izin pengadilan, tetapi selalu ditutup dengan pengecualian “dalam keadaan tertentu berdasarkan penilaian penyidik”. “Selalu ada klausul, penyidik bisa melakukan sesuai penilaian penyidik, maka enggak perlu (izin hakim),” ujarnya. Karena itu ia menilai argumen DPR keliru. “Ini justru Habiburokhman yang tidak mengerti atau disinformasi dengan penjelasan yang tidak berdasar,” tegas Isnur.
KUHAP Lama Terlalu Memberi Kekuasaan pada Negara
Terlepas dari polemik tersebut, Komisi III DPR menyebut revisi KUHAP dilakukan untuk mengurangi dominasi aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana lama. “Di KUHAP yang lama negara itu terlalu powerful, aparat penegak hukum terlalu powerful. Kalau di KUHAP yang baru warga negara diperkuat, diberdayakan haknya,” kata Habiburokhman dalam laporan resminya di rapat paripurna.
Ia mengklaim KUHAP baru menyentuh aspek penting seperti perlindungan dari penyiksaan, syarat penahanan yang lebih jelas, penguatan hak korban, restitusi, kompensasi, rehabilitasi, hingga pengaturan keadilan restoratif. DPR juga menyatakan telah melakukan 130 rapat dengar pendapat umum (RDPU) untuk menjaring masukan publik. “99,9 persen KUHAP baru merupakan masukan dari masyarakat sipil,” kata dia.
14 Perubahan Besar dalam KUHAP Baru
Dalam presentasi resmi, pemerintah dan DPR menyebut ada 14 substansi perubahan besar dalam KUHAP baru, di antaranya:
- Penyesuaian hukum acara dengan perkembangan nasional & internasional
- Integrasi nilai restoratif, rehabilitatif, dan restitutif sesuai KUHP baru
- Penegasan prinsip diferensiasi fungsi penyidik–penuntut umum–hakim–advokat
- Perbaikan kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut
- Penguatan hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi
- Penguatan peran advokat
- Pengaturan keadilan restoratif
- Perlindungan kelompok rentan: disabilitas, perempuan, anak, lansia
- Penguatan pemeriksaan bagi penyandang disabilitas
- Perbaikan pengaturan upaya paksa & asas due process
- Pengenalan mekanisme baru: pengakuan bersalah & penundaan penuntutan korporasi
- Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi
- Penguatan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi
- Modernisasi peradilan: cepat, sederhana, transparan, akuntabel
Klaim Akomodasi Masukan Publik
Senada dengan DPR, Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej mengeklaim bahwa banyak perubahan merupakan hasil masukan masyarakat yang dihimpun. “Ada 40 item masukan masyarakat yang sebagian besar kita akomodasi,” kata Eddy. Menurutnya, poin krusial yang disempurnakan antara lain perlindungan kelompok rentan. Dia bilang penyandang disabilitas kini diakui memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan saksi lain, merujuk pada Pasal 25 ayat (4) UU TPKS.
Selain itu, perempuan, anak, lansia, dan ibu hamil mendapat perlindungan khusus dalam proses pemeriksaan. Eddy mengeklaim, transparansi dalam proses penyidikan juga diatur. Bahkan, setiap kegiatan pemeriksaan harus direcord oleh kamera pengawas. “Pada saat penyidikan itu semua harus menggunakan kamera pengawas sehingga bisa terpantau dan transparan,” ujarnya.
Tidak hanya itu, KUHAP baru juga memastikan adanya kewajiban pendampingan advokat bagi tersangka. Bahkan, Pengacara juga berhak mengajukan keberatan yang wajib dicatat dalam berkas perkara. Kemudian, restorative justice juga dimungkinkan terjadi di semua tahap. Mekanisme keadilan restoratif bisa dilakukan sejak penyidikan hingga penuntutan.
‘Titik Tengah’ Dua Model Peradilan
Di tengah perdebatan sengit antara DPR dan masyarakat sipil, pakar hukum Albert Aries menilai RUU KUHAP dengan segala kelebihan dan kekurangannya perlu dilihat sebagai hasil kompromi untuk menyeimbangkan kepentingan penegakan hukum dan perlindungan hak asasi.
“RUU KUHAP dengan segala kelebihan dan kekurangannya harus dipandang sebagai jalan tengah untuk merajut kewenangan dari masing-masing aparat penegak hukum dalam suatu sistem peradilan pidana terpadu,” kata Albert. “Guna memastikan agar hukum acara pidana bukan hanya sekedar untuk memproses pelaku tindak pidana, melainkan juga memastikan agar hak asasi dari tersangka, terdakwa dan terpidana melalui penguatan peran advokat dapat dijamin pemenuhannya secara berimbang,” ucapnya.
Menurutnya, KUHAP baru ini bergerak mendekati due process model yang menekankan perlindungan hak individu. “Saya rasa RUU KUHAP yang akan segera disahkan semakin mendekati model due process of law, meski tidak absolut sepenuhnya, karena aspek pengendalian kejahatan (crime control model) ternyata juga masih diperlukan dalam keadaan tertentu sebagai penyeimbang,” kata Albert.
Kapan KUHAP Baru Berlaku?
Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan UU KUHAP yang baru akan mulai berlaku 2 Januari 2026, berbarengan dengan implementasi UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional). “Jadi kalau tidak diselesaikan dalam proses yang sudah berjalan hampir 2 tahun, tentu saja kemudian tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah yang sudah 44 tahun undang-undang ini berlaku,” ujar Puan.
Sementara, Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal mempersilakan pihak yang tidak setuju dengan KUHAP untuk melakukan upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Kalau memang enggak setuju dengan isinya, bisa melalui judicial review,” kata Cucun saat ditemui di Gedung DPR RI, Senin (17/11/2025).