Sindikat Penipuan & Judi Online Bidik Warga Bermasalah di Belitung

Erlita Irmania
0
Sindikat Penipuan & Judi Online Bidik Warga Bermasalah di Belitung

Jaringan Maut: Sindikat TPPO Mengintai Warga dengan Iming-iming Gaji Fantastis

Belitung - Fenomena mengerikan kembali mencuat di Belitung, di mana sindikat pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) secara sistematis merekrut individu yang sedang terjerat masalah finansial dan hukum. Modus operandi mereka sangat licik: menawarkan iming-iming gaji menggiurkan hingga belasan juta rupiah per bulan, dengan tujuan awal yang terdengar menarik seperti Malaysia. Namun, di balik janji manis tersebut, tersembunyi jerat eksploitasi yang membawa para korban ke nasib tak terduga.

Salah satu warga yang enggan disebutkan namanya, yang akrab disapa Kun, membenarkan adanya tawaran tersebut. "Saya sudah pernah ditawarkan. Sepertinya memang mencari orang-orang yang kena masalah ekonomi dan masalah hukum," ungkapnya, sembari menambahkan bahwa tawaran tersebut sempat membuatnya tergiur, namun akhirnya ia memilih untuk tidak mengambilnya. Ia juga menyebutkan bahwa informasi mengenai perekrut tersebut kini tidak lagi dapat dihubungi, bahkan dikabarkan berada di Myanmar.

Dari Janji Manis ke Kenyataan Pahit: Perjalanan Penuh Tipu Daya

Kabid Tenaga Kerja Dinas KUMPTK Kabupaten Belitung, Erwan Junandi, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah melakukan penelusuran dan menemukan sejumlah warga Belitung menjadi korban TPPO. Modus yang digunakan para perekrut sangat konsisten: menawarkan upah besar. Tujuan awal yang dijanjikan adalah Malaysia, dengan iming-iming gaji mencapai Rp12 juta per bulan. Namun, sebelum mencapai tujuan akhir, para korban diinstruksikan untuk berkumpul terlebih dahulu di Bogor, bertemu dengan korban-korban lainnya.

Kenyataan pahit justru membayangi para korban. Alih-alih bekerja di Malaysia, mereka justru dibawa ke Myanmar. Informasi terakhir yang berhasil diterima datang dari salah seorang korban yang berhasil menghubungi kakak kandungnya melalui sambungan telepon pada tanggal 22 Oktober 2025. Dalam percakapannya, korban mengabarkan adanya penggerebekan terhadap pekerja ilegal. Sejak saat itu, korban tidak dapat dihubungi lagi.

"Kami setelah mendapatkan laporan tersebut, langsung bergerak. Kami langsung berkoordinasi dengan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Kanwil Palembang," ujar Erwan, menegaskan respons cepat dari pihak dinas setelah menerima laporan tersebut.

Ketua DPRD Kabupaten Belitung, Vina Cristyn Ferani, menyatakan bahwa kasus ini menjadi perhatian serius pihaknya. Ia merinci bahwa dari 11 orang yang diidentifikasi sebagai korban TPPO, baru enam orang yang identitasnya terkonfirmasi. Para korban tersebut berasal dari Kelurahan Tanjung Pendam, Kelurahan Kota, dan Kelurahan Kampong Damai, Kecamatan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. "Saat ini masih menggali informasi apakah ada korban-korban yang lain," ucap Vina, mengindikasikan kemungkinan adanya korban lain yang belum teridentifikasi.

Polisi Mulai Bergerak, Saksi Kunci Memberikan Keterangan

Menindaklanjuti laporan dugaan TPPO, jajaran Satreskrim Polres Belitung telah memulai proses pemanggilan saksi. Hingga kini, baru satu orang saksi yang dimintai keterangan, yaitu istri dari salah seorang korban berinisial EN, yang keberadaannya hingga kini belum diketahui secara pasti. Laporan yang diterima oleh Polres Belitung sendiri baru berasal dari satu orang korban.

Kasat Reskrim Polres Belitung, AKP I Made Yudha Suwikarma, menjelaskan bahwa pihaknya berkoordinasi erat dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, khususnya yang menangani bidang ketenagakerjaan. "Kami sudah panggil saksi untuk dimintai keterangan kasus ini. Karena laporan yang masuk baru satu orang," ujar AKP I Made Yudha Suwikarma pada Jumat (21/11/2025).

Istri korban EN memberikan keterangan mengejutkan. EN awalnya mendapatkan tawaran pekerjaan di Malaysia sebagai scammer dan admin judi online dengan janji gaji puluhan juta rupiah. Meskipun awalnya tidak diizinkan oleh istrinya, EN bersikeras dan berangkat secara diam-diam. Ia bahkan baru mengabari istrinya ketika sudah berada di Jakarta. Di sana, EN dijemput dan sempat menginap di daerah Bogor sebelum melanjutkan perjalanan yang dikira menuju Malaysia.

"Tapi ternyata korban ini bukan bekerja di Malaysia tapi informasi ke Thailand. Istri korban ini kaget karena sudah tidak sesuai tawaran awal," ungkap Made. Berdasarkan informasi terakhir yang didapat, korban diduga berada di perbatasan antara Thailand dan Myanmar. Bahkan, korban sempat bercerita bahwa ia bertemu dengan beberapa orang asal Belitung lainnya dengan inisial DN, AL, DV, GI, DK, EK, YN, BB, AG, dan BC. Kontak terakhir korban dengan istrinya tercatat pada tanggal 13 November 2025. "Sementara ini kami masih berupaya mengumpulkan keterangan dan berkoordinasi intens. Mudah-mudahan nanti ada perkembangan," tambahnya.

Akar Masalah: Gejala Sosial dari Kemiskinan Struktural dan Ketimpangan

Dr. Fitri Harahap, seorang akademisi dari Universitas Bangka Belitung (UBB), menilai kasus dugaan TPPO ini sebagai cerminan nyata dari persoalan sosial yang lebih dalam. Ia menegaskan bahwa kasus ini tidak bisa hanya dilihat sebagai tindakan ceroboh atau pilihan nekat individu.

"Dari sudut pandang sosiologis, ini bukan peristiwa individual. Ini gejala sosial yang lahir dari kemiskinan struktural, ketimpangan pembangunan wilayah, dan mimpi mobilitas sosial yang kuat," ujar Fitri saat dihubungi Bangka Pos Group, Kamis (20/11/2025).

Menurutnya, kondisi ekonomi yang tidak merata membuat tawaran kerja bergaji besar di luar negeri tampak sangat rasional bagi sebagian masyarakat. "Di banyak wilayah seperti Belitung, lapangan kerja formal stabil masih terbatas. Jadi ketika ada tawaran gaji tinggi, itu terlihat rasional bagi mereka, bukan sekadar tindakan nekat," jelasnya.

Budaya merantau yang kuat di masyarakat juga turut memperkuat dorongan untuk pergi. Bagi sebagian keluarga, keberhasilan bekerja di luar daerah atau luar negeri seringkali dianggap sebagai simbol keberanian dan peningkatan status sosial. "Ada aspirasi untuk naik kelas—punya rumah bagus, kendaraan, bisa membantu orang tua—tetapi jalannya tidak tersedia. Di ruang kosong inilah calo dan jaringan perdagangan orang masuk menawarkan jalan pintas yang tampak mulus," katanya.

Para perekrut TPPO kini memanfaatkan teknologi digital secara masif, mulai dari media sosial hingga aplikasi pesan pribadi. Proses rekrutmen seringkali terasa meyakinkan karena dilakukan oleh orang terdekat. "Korban cenderung percaya ketika yang mengajak adalah teman, saudara, atau tetangga. Ini bagian dari modal sosial masyarakat yang seharusnya menjadi kekuatan, tetapi justru dipelintir dan disalahgunakan oleh sindikat," tambahnya.

Banyak korban yang kemudian dipindahkan lintas negara, paspor mereka ditahan, dan mereka dipaksa bekerja sebagai scammer. "Mereka dipaksa, dikontrol, diancam. Tidak adil jika mereka dilabeli sebagai pelaku tunggal kejahatan digital. Mereka berada dalam posisi ganda sebagai korban sekaligus aktor yang terpaksa," tegas Fitri.

Solusi Menyeluruh: Perlindungan Korban dan Pencegahan Akar Masalah

Dr. Fitri Harahap menekankan pentingnya masyarakat untuk berhenti memberikan stigma kepada para korban. "Alih-alih menyalahkan, kita harus melihat mereka sebagai korban eksploitasi yang berhak atas perlindungan dan pemulihan. Bukan dicurigai, bukan diasingkan," ujarnya.

Ia juga mengingatkan agar masyarakat tidak mudah percaya pada tawaran kerja yang terlalu mudah dan menawarkan gaji yang tidak masuk akal. "Jika gajinya tidak masuk akal dan prosesnya terlalu sederhana, itu seharusnya menjadi tanda bahaya, bukan dianggap rezeki," katanya.

Pemeriksaan lowongan kerja melalui jalur resmi seperti Dinas Ketenagakerjaan atau Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) sangat disarankan. Kewaspadaan terhadap rekrutmen diam-diam di grup media sosial juga perlu ditingkatkan.

Fitri menegaskan bahwa negara tidak bisa hanya bertindak setelah kasus terjadi. "Pemerintah harus memperbaiki struktur sosial ekonomi yang membuat masyarakat mudah tergoda tawaran berisiko tinggi. Kalau akar masalahnya, yaitu ketimpangan dan sempitnya lapangan kerja, tidak ditangani, kasus seperti ini akan berulang," ujarnya.

Ia mengusulkan beberapa langkah konkret, antara lain: * Penciptaan lapangan kerja lokal yang memadai. * Pengawasan rekrutmen melalui prinsip satu pintu untuk menghindari celah eksploitasi. * Pelatihan bagi aparatur desa agar mampu mengenali pola rekrutmen yang mencurigakan. * Pembangunan sistem peringatan dini berbasis komunitas, melibatkan RT/RW, tokoh agama, PKK, dan Karang Taruna. * Penyediaan paket pemulihan yang komprehensif bagi korban yang telah dipulangkan.

"Pemulangan korban bukan akhir tanggung jawab negara. Mereka butuh konseling, bantuan hukum, dan dukungan ekonomi agar tidak kembali masuk lingkaran setan yang sama," tegas Fitri.

Mengingat jaringan sindikat TPPO dan scamming bersifat lintas negara, Fitri menekankan pentingnya kolaborasi internasional yang lebih kuat antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara lain. "Tanpa kerja sama kepolisian lintas negara, diplomasi, dan penguatan aparat penegak hukum di bidang kejahatan siber, upaya memberantas TPPO hanya akan menjadi tambal sulam," katanya.

Di akhir wawancara, Fitri menyimpulkan bahwa penanganan TPPO harus dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi. "Kita harus melindungi korban, mempersempit ruang gerak sindikat, dan memperkuat masyarakat dari akar. Hanya dengan itu Belitung dan daerah lain bisa terhindar dari tragedi serupa di masa depan," ujarnya menutup wawancara.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default