Khutbah Jumat: Makna Syukur yang Harus Diketahui

Erlita Irmania
0
Khutbah Jumat: Makna Syukur yang Harus Diketahui

Tema Khutbah Jumat: Meluruskan Makna Syukur

Khutbah Jumat yang disampaikan pada hari ini, 28 November 2025, mengangkat tema penting tentang meluruskan makna syukur sebagai refleksi spiritual bagi umat Islam. Syukur sering dipahami sebatas ucapan alhamdulillah atau rasa puas terhadap nikmat yang diterima, padahal dalam ajaran Islam, syukur memiliki makna yang jauh lebih mendalam.

Syukur bukan hanya ekspresi lisan, melainkan juga sikap hati yang penuh kesadaran atas karunia Allah, serta diwujudkan dalam amal perbuatan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Dalam khutbah Jumat yang dikutip dari Pondok Pesantren Miftahul Huda, syukur memiliki tiga dimensi utama. Yakni syukur dengan hati berupa pengakuan bahwa segala nikmat berasal dari Allah, syukur dengan lisan melalui pujian dan doa, serta syukur dengan perbuatan dengan menggunakan nikmat sesuai tujuan yang diridai Allah.

Khutbah Jumat kali ini menekankan bahwa meluruskan makna syukur berarti menghindari sikap lalai, kufur nikmat, atau menggunakan karunia Allah untuk hal yang sia-sia. Tema khutbah ini menjadi relevan di tengah kehidupan modern yang sering membuat manusia terjebak dalam kesibukan duniawi dan lupa menghargai nikmat sederhana.

Jika meluruskan makna syukur, umat Islam diajak untuk tidak hanya berterima kasih atas nikmat besar, tetapi juga mensyukuri hal-hal kecil yang sering terlewatkan. Syukur yang benar akan melahirkan ketenangan batin, memperkuat iman, dan menumbuhkan kepedulian sosial. Khutbah Jumat 28 November 2025 ini mengingatkan jamaah bahwa syukur sejati adalah kunci keberkahan hidup. Hati yang penuh kesadaran, lisan yang senantiasa memuji, dan perbuatan yang menebar manfaat, umat Islam dapat menjadikan syukur sebagai jalan menuju ridha Allah dan kebahagiaan dunia akhirat.

Nikmat-Nikmat Allah yang Harus Disyukuri

Jama’ah shalat jum’at yang dimulyakan Allah Ta’ala

Pertama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah ta’ala yang telah memberikan kepada kita berbagai nikmat mulai dari nikmat sehat, sempat dan juga nikmat paling besar adalah nikmat iman dan islam. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada nabi junjungan Muhammad sallallahu alihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, para tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para pengikutnya hingga akhir zaman nanti.

Mampukah kita menghitung nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang telah kita dapat hingga saat ini? Tentulah, tidak!. Menghitung jumlah nikmat dalam sedetik saja kita tidak mampu, terlebih sehari bahkan selama hidup kita di dunia ini. Tidur, bernafas, makan, minum, bisa berjalan, melihat, mendengar, dan berbicara, semua itu adalah nikmat dari Allah Ta’ala, bahkan bersin pun adalah sebuah nikmat. Jika dirupiahkan sudah berapa rupiah nikmat Allah itu?

Mampukah kalkulator menghitungnya? Tentulah, tidak!. Sudah berapa oksigen yang kita hirup? Berapa kali mata kita bisa melihat atau sekedar berkedip? Sampai kapan pun kita tidak akan bisa menghitungnya. Oleh karenanya, wajar bila Allah Subhanahu wa Ta’ala berulang-ulang menegaskan dalam surat Ar-Rahman sebuah ayat yang harus senantiasa kita renungi bersama,

فَبِأَيِّ آلاَءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka ni’mat Rabb kalian yg manakah yg kalian berdua dustakan?”

Bahkan jika salah satu dari kita menghitung berbagai nikmat tersebut, maka sungguh tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melakukannya dikarenakan begitu melimpahnya nikmat tersebut. Allah Ta`ala telah menyebutkan hal ini dalam firmanNya :

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. An Nahl: 18)

Dan sudah seharusnya bagi orang yang berakal untuk senantiasa mensyukuri segala nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yg berlimpah ini dengan penuh rasa syukur. Namun ironisnya, hanya sedikit dari para hamba yg mau bersyukur. Alloh Ta`ala bersabda :

وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yg mau bersyukur.” (QS. Saba : 34)

Kebanyakan dari kita justru senantiasa mengkufuri ni’mat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau bahkan mempergunakan ni’mat tersebut untuk bermaksiat, berbuat dosa, dan melakukan kedholiman kepada Ar-Rahman.

Cara Bersyukur kepada Allah

Setiap nikmat yang Allah beri patut disyukuri, meskipun nikmat tersebut remeh. Syukur nikmat adalah dengan terus mendekatkan diri pada Allah dengan nikmat tersebut, juga menjauhi setiap maksiat. Jika malah dengan nikmat semakin membuat jauh dari Allah, itu bukanlah jadi nikmat melainkan musibah.

Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan,

كُلُّ نِعْمَةٍ لاَ تُقَرِّبُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهِيَ بَلِيَّةٌ
“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.”

Lalu, apakah yang harus kita lakukan setelah kita mendapatkan semua nikmat itu?. Bersyukur atau kufur?. Jika memang bersyukur, apakah diri ini sudah tergolong hamba yang mensyukuri nikmat-nikmat itu?.

Jama’ah shalat jum’ah yang dirahmati Allah Ta’ala

Karena itu, kita Perlu mengetahui bagaimana cara bersyukur kepada Allah Ta’ala dan bagaimana tata cara merealisasikan syukur itu sendiri. Ketahuilah bahwasannnya Allah mencintai orang-orang yang bersyukur. Hamba yang bersyukur merupakan hamba yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Seorang hamba dapat dikatakan bersyukur apabila memenuhi tiga hal :

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan,

وَأَنَّ الشُّكْرَ يَكُونُ بِالْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ
“Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan.”

Tiga Dimensi Syukur

Pertama: Hatinya mengakui dan meyakini bahwa segala nikmat yang diperoleh itu berasal dari Allah Ta’ala semata. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (Qs. An Nahl: 53)

Orang yang menisbatkan bahwa nikmat yang ia peroleh berasal dari Allah Ta’ala, ia adalah hamba yang bersyukur. Selain mengakui dan meyakini bahwa nikmat-nikmat itu berasal dari Allah Ta’ala hendaklah ia mencintai nikmat-nikmat yang ia peroleh. Sebaliknya, siapa saja yang meyakini bahwa nikmat itu berasal dari selain Allah, maka ia telah berbuat syirik pada Allah ta’ala.

Kedua: Lisannya senantiasa mengucapkan kalimat Thayyibbah sebagai bentuk pujian terhadap Allah Ta’ala. Hamba yang bersyukur kepada Allah Ta’ala ialah hamba yang bersyukur dengan lisannya. Allah sangat senang apabila dipuji oleh hamba-Nya. Allah cinta kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa memuji-Nya.

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (Qs. Adh Dhuha: 11).

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Seorang hamba yang setelah makan mengucapkan rasa syukurnya dengan berdoa, maka ia telah bersyukur. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ . غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan: “Alhamdulillaahilladzii ath’amanii haadzaa wa rozaqoniihi min ghairi haulin minnii wa laa quwwatin” (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, dan merizkikan kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku), maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Tirmidzi no. 3458. Tirmidzi berkata, hadits ini adalah hadits hasan gharib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Terdapat pula dalam hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) sesudah makan dan minum” (HR. Muslim no. 2734).

Bahkan ketika tertimpa musibah atau melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka sebaiknya tetaplah kita memuji Allah.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم – إِذَا رَأَى مَا يُحِبُّ قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ ». وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ ». Dari Aisyah, kebiasaan Rasulullah jika menyaksikan hal-hal yang beliau sukai adalah mengucapkan “Alhamdulillah alladzi bi ni’matihi tatimmus shalihat”. Sedangkan jika beliau menyaksikan hal-hal yang tidak menyenangkan beliau mengucapkan “Alhamdulillah ‘ala kulli hal.” (HR Ibnu Majah no 3803 dinilai hasan oleh al Albani).

Ketiga : Menggunakan nikmat-nikmat Allah Ta’ala untuk beramal shalih. Sesungguhnya orang yang bersyukur kepada Allah Ta’ala akan menggunakan nikmat Allah untuk beramal shalih, tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Ia gunakan matanya untuk melihat hal yang baik, lisannya tidak untuk berkata kecuali yang baik, dan anggota badannya ia gunakan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.

Ketiga hal tersebut adalah kategori seorang hamba yang bersyukur yakni bersyukur dengan hati, lisan dan anggota badannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, “Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan. (Minhajul Qosidin, hal. 305). Syukur dari hati dalam bentuk rasa cinta dan taubat yang disertai ketaatan. Adapun di lisan, syukur itu akan tampak dalam bentuk pujian dan sanjungan. Dan syukur juga akan muncul dalam bentuk ketaatan dan pengabdian oleh segenap anggota badan.” (Al Fawa’id, hal. 124-125).


Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default